Senin, 27 September 2010

Layar Cerita : Review Film Film

‘Sang Pencerah’ : Sebuah Awal Indonesia yang Tercerahkan


Film Sang Pencerah telah diluncurkan Sutradara Hanung Bramantyo dan Produsernya Ram Punjabi menyambut Idul Fitri 1430 H yang lalu. Film yang berkisah tentang riwayat Kyai Haji Ahmad Dahlan ini cukup sukses mendapatkan apresiasi masyarakat.
Walaupuan hingga malam ini, kamis (23/09/2010), Hanung Bramantyo melalui Twitter menyatakan baru ditonton sekitar 700 –an ribu penonton, angka yang masih jauh dari Laskar Pelangi (4,6 juta) dan Ayat Ayat Cinta (3,5 juta). Namun untuk ukuran tahun ini film ini berpotensi menjadi film Indonesia terlaris, bahkan dengan mencatat angka 1 juta saja. Konon, biaya 12 Milyar yang dihabiskan dalam pembuatan film ini baru bisa nutup kalau ditonton 2,5 juta orang.

Sebagai sebuah karya, Sang sutradara tentu meluncurkannya ke publik dengan berbagai kepentingan, salah satunya menjadi alat berkomunikasi dengan khalayak, khususnya bangsa Indonesia. ‘Sang Pencerah’ – pun agaknya berhasil melakukannya sebagai sebuah karya seni yang indah dan juga sebagai sebuah hiburan dan sekaligus sebagai sebuah prasasti jaman, terkhusus untuk Muhammadiyah, organisasi yang didirikan Kyai Dahlan dimana sudah berusia satu abad.
Sebagai sebuah media hiburan, ternyata Film ini cukup berhasil menarik minat khalayak dari berbagai kalangan, dimana walaupun bercerita tentang kisah seorang pemuka agama Islam, cukup bisa dinikmati juga oleh semua kalangan, termasuk mereka yang tidak beragama Islam. Beberapa blog yang ditulis di Kompasiana, atau tanggapan melalui twitter menunjukkan kepuasan mereka menonton.
Sementara itu sebagai sebuah karya seni, khususnya Film, ‘Sang Pencerah’ diakui banyak kritikus Film telah berhasil membawa Film Indonesia ke babak baru, sebuah Film sejarah, khususnya biopic tokoh bangsa, dengan teknik pembuatan yang tidak biasa. Cerita yang solid, sinematografi yang diatas rata-rata, detail kostum, music pengiring dan juga acting para pemainnya diakui para kritikus film berkualitas diatas rata-rata film Indonesia.
Bagaimana dengan pesan yang tersampaikan…?
Disinilah menariknya karya – karya Hanung, yang menurutku selalu syarat dengan emosinya secara personal. Aku sempat menonton Jomblo, Catatan Akhir Sekolah, Kamulah Satu Satunya, Get Maried 1 dan 2, Brownies, Ayat-Ayat Cinta, dan Perempuan Berkalung Sorban.
Kalau Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, Kamulah Satu Satunya dan Get Maried adalah film layaknya sebuah teriakan Hanung dimasa mudanya yang belum sempat tersampaikan. Sementara Brownies dan Lentera Merah seperti sebuah selebaran yang mewakili kegelisahannya sebagai seorang anak bangsa.
Sedangkan Ayat Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah karya yang mewakili bagaimana pemahamannya tentang agamanya, Islam. Dan dua Film ini juga yang melahirkan kontroversi berkepanjangan membututi kelahirannya, yang menurutku adalah sebuah keberhasilan sebuah proses komunikasi.
Sayang, Hanung sering melakukan kesalahan. Dia selalu tak sabar untuk menjawab dan melakukan klarifikasi atas berbagai tanggapan khalayak tentang Film Film yang dia luncurkan, khususnya yang berkaitan dengan pesan yang tersampaikan. Menurutku alangkah lebih baik Hanung mendiamkan semua tanggapan, anggap saja misinya untuk mengutarakan apa yang dianggapnya benar sudah tersampaikan.
Dan di Sang Pencerah ini Hanung terlihat mulai menampakkan kedewasaannya, cenderung mendiamkan berbagai tanggapan, dan sepertinya lebih baik begitu.
Berbicara tentang pesan yang tersampaikan, bagi kalangan perkotaan yang terdidik , apa yang dibawakan ‘Sang Pencerah’ cukup bisa diterima. Tanggapan mereka bahwa Film yang memang penuh pesan, namun cukup rapi dikemas ini bisa membuka mata mereka tentang sosok anak muda yang hidup seratus tahun yang lalu dan kritis melihat masyarakatnya.
Sementara itu, bagi keluarga besar Muhammadiyah, khususnya yang mendalami berbagai referensi tentang Muhammadiyah, umumnya menyambut Film ini secara positif. Walaupun berbagai improvisasi yang ditampilkan dalam Film ini cukup banyak, umumnya Warga Muhammadiyah tidak banyak yang menganggap Film ini melenceng dari apa yang berlaku di Muhammadiyah selama ini. Mungkin karena riset yang cukup mendalam telah dilakukan sebelum pembuatan scenario, bahkan skenarionyapun mengalami beberapa kali revisi.
Namun karena Muhammadiyah di Indonesia ini sudah memiliki berbagai definisi secara sosiologis, sehingga definisi orang Muhammadiyah sudah sangat bervariasi. Tidak menutup kemungkinan lahirnya tanggapan beragam juga, khususnya bagi mereka yang sekedar mengenal Muhammadiyah secara sepotong - sepotong.
Bagaimana pula tanggapan orang - orang dari kalangan lain ? Baik kalangan penjaga tradisi maupun kalangan yang menamakan diri sebagai ‘Pembela Islam’ ?
Arah Kiblat dan Epistimologi Baru
Kritik ‘Sang Pencerah’ terhadap pelurusan arah kiblat bagiku cukup menarik. Gambaran yang tersaji cukup mewakili sebuah epistimologi berfikir yang berlaku dalam tradisi Islam modernis seperti Muhammadiyah. Metodenya : (1) merujuk pada teks yang sahih, (2) menggunakan akal dan ilmu pengetahuan, (3) menggunakan hati/intuisi sebagai pijakan spiritualnya.
Metode diatas sejalan dengan konsep Bayani (kebenaran teks), Burhani (kebenaran akal/iptek), Irfani (kebenaran intuitif) yang tercantum dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
‘Sang Pencerah’ menggambarkan bahwa Kyai Dahlan melakukan revisi arah kiblat dengan merujuk tuntunan sahih bahwa salat harus kearah kiblat, Kakbah di kota Makkah. Sementara untuk menentukan arah kiblat, Kyai Dahlan menggunakan Kompas dan Peta Dunia sebagai hasil perkembangan jaman. Dan ketika ditanya tentang jaminan kebenaran metodenya, dijawabnya bahwa “Allahlah penentu kebenaran, kita hanya berikhtiar”.
Metode berfikir ini juga sejalan dengan bagaimana Bukhori dan Muslim mengembangkan epistimologi penelitian Hadist Sahih dengan mengembangkan tradisi kritik. Kritik terhadap teks (matan), kritik terhadap perawi dan konteks (logika), dan juga diakhiri dengan istikharoh, berserah diri kepada Allah setelah ikhtiar maksimalnya sebagai sebuah pencarian kebenaran intuitif.
Melalui ‘Sang Pencerah’ tampaknya Hanung konsisten menggambarkan bahwa pada saat ingin merevisi kiblat, Kyai Dahlan adalah seorang anak muda berumur 21 tahun. Sehingga wajarlah seorang anak muda yang ternyata tidak berhasil meyakinkan majelis ulama itu kemudian digambarkan ‘mbalelo’. Dia dengan tidak mentaati arah kiblat formal yang menurutnya salah, sehingga merubah arah kiblat Langgar (mushola) nya sendiri.
Namun, ternyata tanggapan dari penonton kemudian berkembang, Kyai Dahlan dianggap bukan menjadi Sang Pencerah, namun menjadi Sang Pemberontak yang tidak bijak. Egois karena menjadi orang yang keukeuh pada kebenaran yang diyakininya dan tidak menghormati ulama lain yang berbeda.
Bukankah normal seorang anak muda berusia 21 melakukan hal-hal yang berkesan konfrontatif membela apa yang diyakini benar ? Karena bagi sebagian penonton, harmoni, walaupun menjebak pada kejumudan berfikir dianggapnya lebih baik.
Padahal seharusnya hakekat harmonisasi adalah sebuah proses saling kritik dalam konteks “Saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran” .
Kritik Terhadap Tradisi
Sementara ada tanggapan cukup tajam ketika ‘Sang Pencerah’ mengkritik penggunaan sesaji pada yang menjadi praktek kaum Islam jawa. Padahal yang dilakukan hanyalah mengkritik, bukan memberangus. Mencoba mengajak berfikir ulang, layaknya Descartes yang mengajarkan bahwa “Aku berfikir maka aku ada” , atau berdasarkan ayat pertama Al Qur’an mengajak manusia membaca (Iqro’). Bukankah esensi manusia adalah yang selalu menkritisi dirinya, nenek moyangnya, masyarakatnya ?
Lagi -lagi epistimologi diatas yang seharusnya berlaku bagi manusia yang tercerahkan. Berfikir dengan mencari dasar otentik yang kemudian menghasilkan ketepatan , menggunakan akal untuk mencari kebenaran. Serta mempertanyakannya dengan hati untuk mencapai kebaikan.
Mengkritik bahwa berdo’a dengan sesaji apakah tepat, benar dan baik dimana salahnya ? Inilah sebenarnya pencerahan itu.
Sayangnya, ada yang memiliki pandangan bahwa Sosok Kyai Dahlan di Sang Pencerah tidak layak menjadi Sang Pencerah, karena dalam presepsinya seorang pencerah adalah orang yang tidak menyebabkan konflik didalam masyarkat. Lagi-lagi inilah perbedaan pandangan masyarakat tercerahakan, dimana kultur kompetisi, dialektika dan dialog antar pemikiran yang menjadi konsumsi keseharian mereka . Disinilah yang kemudian harus berhadapan dengan mereka yang atas nama harmoni namun menutup diri sulit tercerahkan.
Hal diatas juga terjadi pada kritik tentang Nyadran, Tahlilan, Yasinan, Selamatan… pesan bahwa Kyai Dahlan mengajak untuk memikirkan kembali (bukan melarang) praktek praktek itu apakah ada dasarnya dalam ajaran agama, atau mempertimbangkan aspek ekonominya dan lain sebagainya tampaknya juga menuai tanggapan negatif dari khalayak pelakunya.
Pendek kata, terbangunnya tradisi kritik adalah salah satu ciri tradisi masyarkat yang tercerahkan .
Isu Liberal dan Pencerahan
Disisi lain, seperti dalam Perempuan Berkalung Surban, kontroversi akan adanya pesan yang selama ini identik dengan pesan liberal tampaknya juga muncul di khalayak, dimana kita tahu adanya sekelompok umat yang menganggap bahwa gambaran para Kyai penentang Kyai Dahlan itu sama saja menghina para Ulama. Ketika digambarkan seorang Kyai di Perempuan Berkalung Surban menjadi sangat jumud ketika tergambar mengekang putrinya, dalam Sang Pencerah dianggap mereka kembali terulang.
Bagi yang tidak mengerti sejarah, banyak yang menyayangkan mengapa Hanung tega menggambarkan bagaimana konservatifnya para Kyai penentang Kyai Dahlan. Bahkan bagaimana terjadi seorang Penghulu kok bisa bisanya salah membaca tulisan Residen dan Presiden. Demikian juga banyak yang menanggapi mengapa gambaran orang-orang utusan Kyai Cholil Kamaludiningrat ketika akan meruntuhkkan Langgar (Mushola) begitu bodoh ? Teriakan takbir dimana mana yang dianggap selalu identik dengan pejuang Isam padahal yang mereka lakukan adalah meruntuhkan tempat ibadah dianggap mereka menghina. Hanung dianggap tega menggambarkan sisi buruk umat Islam, begitu telanjang di depan publik.
Doktrin Islam adalah agama sempurna tampaknya tanpa sadar dipelintir menjadi : Orang Islam adalah Orang yang Sempurna.
Belum lagi ketika Kyai Dahlan dianggap kafir karena menggunakan meja, kursi, biola, peta dan kompas yang merupakan buatan otang kafir. Demikian juga ketika Kyai Dahlan dianggap kafir karena berpakaian seperti belanda, mengajar sekolah Belanda atau bekerjasama dengan Budi Utomo yang identik sebagai organisasi priyayii kejawen.
Atau ketika majalah Al Manar yang identik dengan pembaharuan Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afgahani yang memang masih sulit diterima oleh kalangan salaf karena tinggal di Perancis dan dianggap terpengaruh pikiran barat.
Disinilah sebenarnya esensi pencerahannya. Yaitu upaya redefinisi berbagai hal yang telah dianggap baku di masyarkat, dengan melakukan kritik terhadap tradisi, mengkritik definisi kafir, dan definisi ilmu pengetahuan di dalam Islam yang kemudian identik dengan purifikasi. Sementara di sisi lain dilakukan pula proses dinamisasi dengan mendefinisikan ulang modernisasi dalam pandangan umat Islam dan bangsa (yang kelak menjadi) Indonesia pada waktu itu.
Dan akhirnya, inspirasi Ali Imron 104 yang mendasari inisiatif mendirikan sebuah organisasi harus dipandang sebagai sebuah terobosan sangat berani dimasa itu. Entah predikat liberal bahkan kafir sepertinya bisa disematkan cara menafsirkan ayat al qur’an sehingga organisasi ‘ala’ Belanda terbangun bernama Muhammadiyah. Bahkan Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani saja tidak pernah membangun organisasi modern seperti ini.
Akhirnya, ‘Sang Pencerah’ memang bisa menjadi cermin bagi bangsa ini untuk terus maju membangun dirinya. Indonesia dengan generasi muda yang tercerahkan. Bukan Indonesia yang hanya membebek nenek moyang, tenggelam dalam tradisi tanpa dasar, alergi terhadap kritik dan tertutup terhadap kemajuan, mudah mengkafirkan ‘liyan’, apalagi pemarah….

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar